Selasa, 03 Agustus 2010

Hukum Membaca Al-Fatihah Seorang Makmum dalam Shalat Berjamaah

Assalamu'alaikum;
Ustad mohon penjelasannya:
1. Bagaimana sholat kita jika saat menjadi makmum belum selesai baca Alfatihah imam sudah rukuk dan kita mengikuti rukuk tanpa menyelesaikannya.
2. Haruskah kita menyelesaikannya dengan resiko mungkin akan ketinggalan 2 gerakan sholat imam
Terimakasih
Wasalam;
Abu Tsa
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Abu Tsa yang dirahmati Allah swt
Membaca al Fatihah adalah diantara rukun-rukun shalat baik shalat fardhu, sunnah, shalat jahriyah (dikeraskan suaranya) maupun sirriyah (dipelankan suaranya) berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari 'Ubadah bin Ash Shamit, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)."
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang bacaan al Fatihah bagi makmum. Para ulama Maliki dan Hambali mewajibakan membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian namun tidak bagi makmum. Sementara para ulama madzhab Safi’i mewajibkannya bagi imam dan juga makmum.
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 1740 menyebutkan bahwa pendapat jumhur ulama adalah makmum tidak perlu membaca al Fatihah dan tidak juga membaca yang lainnya (surat) di belakang imam didalam shalat jahriyah apabila dia mendengar bacaan imam. Mereka mendasari pendapatnya dengan :
1. Firman Allah swt :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf : 204) Terdapat riwayat bahwa para salafussholeh bahwa maksud dari ayat itu adalah mendengarkan bacaan yang dibaca imam.
2. Hadits Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Apabila dia bertakbir maka bartakbirlah kalian dan apabila dia membaca maka dengarkanlah.” Dan hadits ini terdapat di al Musnad dan yang lainnya dinukil dari Imam Muslim yang telah dishahihkan.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib membaca al Fatihah bagi makmum baik didalam shalat jahriyah maupun sirriyah dibelakang imam berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan tentang kewajiban membaca al Fatihah tanpa membedakan antara imam dan makmum, sebagaimana hadits di ash shahihain dan lainnya dari Ubadah bin ash Shamit bahwa Nabi saw bersabda,”Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)."
Dan yang lebih tegas lagi apa yang terdapat di sunan abi Daud, an Nasai dan lainnya dari hadits Ubadah bin ash Shamit bahwa Nabi saw shalat shubuh sepertinya bacaan beliau terasa berat. Seusai shalat, beliau bersabda: "Sepengetahuanku, kalian membaca di belakang imam kalian." Mereka menjawab; "Ya, wahai Rasulullah! (hingga) Kami menyusul bacaanmu dengan cepat." Beliau bersabda: "Jangan kalian lakukan kecuali Fatihatul Kitab (Al Fatihah) karena tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya."
Dari penjelasan diatas tampak bahwa hal tersebut masih menjadi permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama terdahulu maupun yang belakangan. Dan setiap kelompok memiliki dalil-dalilnya, dimana kelompok yang satu membantah kelompok lainnya dengan melemahkan dalil-dalil mereka atau tanpa dalil didalam permasalahan yang diperselisihkan namun hanya bersandar kepada pendapatnya.
Dengan demikian untuk suatu kehati-hatian maka hendaklah seorang makmum membaca al Fatihah di belakang imam didalam shalat-shalat jahriyah dan sirriyah untuk keluar dari perselisihan yang terjadi dikalangan para ulama itu karena kelompok yang mengatakan wajib membaca al fatihah dibelakang imam memandang batal shalat seorang yang tidak membacanya. (Markaz al Fatwa No. 1740)
Dengan demikian jika anda shalat bersama imam dan memiliki kesempatan untuk membaca al fatihah hingga selesai sebelum imam ruku’ maka hendaklah anda membacanya hingga selesai. Akan tetapi jika anda belum selesai membacanya sementara imam sudah bertakbir untuk ruku maka hendaklah anda ruku bersamanya walaupun anda belum menyelesaikan bacaan al Fatihah tersebut dikarenakan tidak mungkinnya menyelesaikan bacaan tersebut, berdasarkan hadits Abu Hurairoh diatas.
Wallahu A’lam(sumber:eramuslim.com)

Minggu, 16 Mei 2010

Gempa Besar Mengamcam Padang II

Regional Seismic Hazard Posed by the Mentawai Segment of the Sumatran Megathrust

Kusnowidjaja Megawati and Tso-Chien Pan
Several lines of evidence have indicated that the Mentawai segment of the Sumatran megathrust is very likely to rupture within the next few decades.
The present study is to investigate seismic hazard and risk levels at major cities in Sumatra, Java, Singapore, and the Malay Peninsula caused by the potential giant earthquakes. Three scenarios are considered. The first one is an Mw 8.6 earthquake rupturing the 280 km segment that has been locked since 1797; in the second scenario, rupture occurs along a 600 km segment covering the combined rupture areas of the 1797 and 1833 historical events, producing an Mw 9.0 earthquake; and the third scenario has the same rupture area as the second scenario but with doubled slip amplitude, resulting in an Mw 9.2 earthquake. Simulation results indicate that ground motions produced by the hypothetical scenarios are strong enough to cause yielding to medium- and high-rise buildings in many major cities in Sumatra. It is vital to ensure that the overall strength, stiffness, and integrity of the structures are maintained throughout the entire duration of shaking. However, the ductile detailing in current practice is formulated based on an assumption that ground motions would last from 20 to 40 sec. This has not been tested for longer durations of 3–5 min, expected from giant earthquakes. In Singapore and Kuala Lumpur, only medium- and high-rise buildings, especially those located on soft-soil sites, are at risk. Given that seismic design has not been required in either city, and thus the resulting structures are relatively brittle, it is crucial to investigate their performance under moderate-amplitude, long-duration, ground motions. The present study also points out that shifting the response spectrum toward a longer period range becomes significant for sites located far from potential seismic sources, which should be carefully considered in formulation of future seismic codes.





Gempa Besar Mengamcam Padang I

Tsunami threat in the Indian Ocean from a future megathrust earthquake west of Sumatra

John McCloskey, Andrea Antonioli,etc

Abstract

Several independent indicators imply a high probability of a great (M > 8) earthquake rupture of the subduction megathrust under the Mentawai Islands of West Sumatra.

The human consequences of such an event depend crucially on its tsunamigenic potential, which in turn depends on unpredictable details of slip distribution on the megathrust and how resulting seafloor movements and the propagating tsunami waves interact with bathymetry. Here we address the forward problem by modelling about 1000 possible complex earthquake ruptures and calculating the seafloor displacements and tsunami wave height distributions that would result from the most likely 100 or so, as judged by reference to paleogeodetic data. Additionally we carry out a systematic study of the importance of the location of maximum slip with respect to the morphology of the fore-arc complex. Our results indicate a generally smaller regional tsunami hazard than was realised in Aceh during the December 2004 event, though more than 20% of simulations result in tsunami wave heights of more than 5 m for the southern Sumatran cities of Padang and Bengkulu. The extreme events in these simulations produce results which are consistent with recent deterministic studies. The study confirms the sensitivity of predicted wave heights to the distribution of slip even for events with similar moment and reproduces Plafker's rule of thumb. Additionally we show that the maximum wave height observed at a single location scales with the magnitude though data for all magnitudes exhibit extreme variability. Finally, we show that for any coastal location in the near field of the earthquake, despite the complexity of the earthquake rupture simulations and the large range of magnitudes modelled, the timing of inundation is constant to first order and the maximum height of the modelled waves is directly proportional to the vertical coseismic displacement experienced at that point. These results may assist in developing tsunami preparedness strategies around the Indian Ocean and in particular along the coasts of western Sumatra.

Kamis, 15 April 2010

Gelar No, Ilmu Yes

Gelar No, Ilmu Yes
Oleh: Jansen H. Sinamo [15 Mei 2007]
Di era 70-an Nurcholish Madjid terkenal dengan teriakannya: Politik No, Islam Yes. Kini teriakan senada harus dikumandangkan: Gelar No, Ilmu Yes. Ini perlu dilakukan karena masyarakat kita sudah sampai memberhalakan gelar kesarjanaan. Banyak orang bangga menyandang gelar-gelar mentereng itu tetapi sesungguhnya hampa bobot. Epidemi ini sekarang merambat lebih ganas karena banyak “mafia” berkedok dosen yang terjun menjadi penjaja gelar dengan harga terjangkau. Ironinya, sejumlah PTN ternyata juga terlibat praktik jual-beli gelar master atau doktor (Suara Pembaruan, 20 April).


Dari mana asal-usul wabah sosial ini? Awalnya dimulai ketika orang-orang tertentu tanpa risih menderetkan gelar S1, S2, S3 sekaligus, umpamanya Dr. Ir. Polan Polin, M.Sc. atau Dr. Polin Polan, SE, SH, MBA (sebenarnya cukup gelar tertingginya saja). Gelar berderet ini dianggap mampu meningkatkan derajat sosialnya. Dan, gayung pun bersambut hangat oleh masyarakat kita yang umumnya masih bermental hamba. Para penderet gelar itu mendapat sanjungan sosial.

Lanjutannya, tumbuhlah semacam keharusan baru untuk menulis dan memanggil nama orang lengkap dengan gelarnya. Dalam acara-acara resmi pemanggilan nama secara komplit menjadi protokol baru. Ingat saja saat voting di SU-MPR lalu, nama-nama anggota terhormat itu dipanggil serba lengkap. Saya perkirakan, durasi voting bisa berkurang sampai 25 % bila anggota MPR itu dipanggil dengan nama polos mereka saja. Namun bukan cuma di gedung MPR, di stasiun kereta api, bandara, ruang tunggu dokter, bahkan di rumah-rumah ibadah gelar-gelar akademis ini juga menjadi wajib panggil dan wajib tulis.

Keinginan dianggap hebat dan berkelas merupakan motivasi di balik kegemaran memasang gelar-gelar mentereng itu. Meskipun sampai dosis tertentu ambisi tersebut dapat dianggap sehat, namun dosis berlebihan jelas merupakan penyakit. Saya mengenal seseorang yang menulis gelar doktorandusnya bahkan di tikar, tong air, pantat gelas, pantat piring, punggung kursi, dan tembok rumahnya. Ini bukan lagi sekadar penyakit eksibisionisme, tetapi sudah berkomplikasi dengan rasa rendah diri akut. Di sini, sebuah gelar sarjana diharapkan mampu mengobatinya.

Harus diakui, para sarjana Indonesia tidak mau dianggap biasa, bersahaja. Mereka itu hebat. Sedihnya, meskipun tidak hebat tetapi ingin dianggap hebat.

Di dunia bisnis misalnya, sejak Tanri Abeng naik daun dengan gelar MBA-nya pada dekade 80an – dan dijuluki manajer satu milyar – maka kerabat gelar itu seperti MM atau MBM menjadi gengsi baru yang didambakan orang. Dengan titel MBA seseorang menjadi ningrat baru dalam kerajaan bisnis. Biasanya untuk menopang gengsi itu ditampilkan pula sebuah gaya hidup mewah.

Di fihak lain, anggota masyarakat yang tidak sempat bergelar ikut-ikutan naik birahi memiliki gelar dengan upaya-upaya tidak terpuji termasuk membeli ijazah palsu. Dan syahwat masyarakat ini semakin tidak tertahankan tatkala kesempatan memiliknya dengan seolah-olah sah -- tapi sebenarnya tidak autentik -- dimunculkan oleh lembaga-lembaga penjaja gelar. Sejak itulah orang bisa mendapatkan gelar BA, MA, PhD; BSc, MSc, Dr; atau BBA, MBA, DBA asal membikin resume cantik, ikut tutorial singkat, membayar beberapa juta, dan melancong sambil wisuda ke Amerika.

Amerika memang negeri yang sangat kreatif. Kita bisa mejeng sebagai Man of the Year di majalah Time misalnya dengan berfoto di emper toko dan membayar US$8. Tapi kreativitas begini memang sekadar lucu-lucuan. Itu sebabnya majalah Time yang asli tidak pernah memprotes praktik itu karena semua orang tahu bahwa itu memang ecek-ecek (dialek Medan yang artinya main-main, pura-pura, tidak serius).

Sayangnya wisudawan aspal dari Amerika di atas, tidak merasa bahwa lakon mereka itu sebenarnya ecek-ecek. Dengan gagahnya gelar-gelar itu kemudian dicetak di kartu nama. Bahkan ada yang berani naif-tanpa-malu memasangnya di iklan surat kabar.
Mestinya badut-badut akademis itu jadi bahan tertawaan. Tapi aneh bin ajaib, di negeri ini orang demikian malah dikagumi dan diteladani ramai-ramai.

Pertanda apa ini? Bagi saya, tak bisa lain, inilah masyarakat yang sakit. Rupanya, bukan cuma si doktor atau si master ecek-ecek saja yang sakit. Semua kita sudah sakit.
Contoh getir sudah saya alami sendiri. Suatu saat saya diundang oleh sebuah universitas swasta memberi ceramah. Karena saya memang tidak pernah mencantumkan gelar, tanpa sepengetahuan saya, panitia memasang MBA (padahal tak punya) di belakang nama saya pada spanduk, undangan, dan sertifikat seminar. Ketika saya persoalkan, mereka berkilah, janggal seorang penceramah dan direktur sebuah institut hanya bernama polos. Saya cuma bisa tersenyum kecut. Jika dunia akademis saja tidak lagi percaya pada kekuatan kompetensi teknis (itu sebabnya saya diundang) – lalu menggantungkannya pada wibawa sebuah gelar – kita bisa membayangkan apa yang terjadi di masyarakat.

***

Apakah mungkin menyembuhkan penyakit ini? Yang jelas, tak ada gunanya melarang dengan sebuah SK menteri apalagi dirjen. Mereka pandai berkelit dan lihai membenarkan diri.

Hemat saya, pertama-tama, kita harus berani berteriak bahwa gelar mereka itu cuma ecek-ecek, tidak sejati, tidak autentik. Dalam kaitan ini, media harus memberi tempat pada teriakan semacam ini. Jangan sebaliknya malah mengambil untung dengan memberi ruang bebas pada iklan mereka. Minimal, iklan gelar ecek-ecek harus diperlakukan sama dengan iklan kondom.

Kedua, instansi publik termasuk perusahaan harus menyisir lebih ketat supaya pemilik gelar ecek-ecek jangan sampai masuk melalui proses rekrutmen. Jika lolos juga dan belakangan ketahuan, agar dipecat secara tidak hormat dengan delik penipuan.
Ketiga, agar pemilik gelar sejati berusaha menahan diri memamerkan gelarnya. Tak usahlah memasang gelar jika bukan dalam konteks akademik. Mudah-mudahan pemilik gelar ecek-ecek itu jadi sungkan dengan kerendahan hati para sarjana sejati. Gerakan hemat-memakai-gelar ini perlu diperluas sekaligus agar gelar-gelar sejati itu kembali mendapat kehormatan yang layak. Bukankah bintang kehormatan semacam Jalasena tidak dipakai orang sehari-hari tetapi pada acara khusus saja? Dalam kaitan ini, saya menyatakan respek kepada Kusmayanto Kadiman, Rektor Institut Teknologi Bandung. Ketika kami berseminar dua bulan lalu di Jakarta, ia wanti-wanti agar gelar akademisnya tak usah dipasang. Saat saya tanya alasannya kemudian, ia menjawab dalam rangka silent protest bagi gelar ecek-ecek. Ini sebuah contoh yang saya maksudkan.

Diharapkan, jika semakin banyak orang sadar bahwa gelar ecek-ecek bergentayangan di masyarakat, mereka akan malu menggunakannya sehingga berkurang dengan sendirinya. Bisnis jual beli gelar boleh tetap ada, bahkan mereka berhak hidup sama seperti bisnis-kaki-lima Man of the Year majalah Time. Tetapi semua kita sepakat bahwa itu just for fun, cuma ecek-ecek. Jika toh ada orang yang mau membayar lima juta untuk kegiatan ecek-ecek, dalam konteks ini, hal itu sah-sah saja.

***

Namun mengusulkan hal di atas sebenarnya sekaligus menepuk air di dulang ke muka universitas-universitas kita. Pertama, jumlah sarjana penganggur (gelarnya bukan ecek-ecek) sudah mencapai 500.000 orang dan bertambah 50.000 setiap tahun (Kompas, 22 April).

Sementara itu instansi resmi, khususnya perusahaan swasta, selalu kekurangan tenaga bermutu tinggi. Di dunia bisnis saya tahu persis, mendapatkan 2 atau 3 pegawai baru dari 2.000-an pelamar setingkat S1 adalah peristiwa rutin. Artinya, ada problem kualitas yang amat besar dalam sistem pendidikan tinggi kita.

Maka inilah gugatan kita: Mengapa mahasiswa diluluskan padahal belum bisa berpikir dan berbahasa dengan runtut? Mengapa orang diberi gelar sarjana padahal sekadar bekerja profesional pun tidak bisa? Mengapa keluaran universitas tidak mampu berkerja menggunakan metoda ilmiah yang rigor dan koheren? Mengapa mereka disebut magister dan doktor tapi tidak mampu memproduksi karya-karya ilmiah seperti artikel, makalah, buku, dan laporan kecuali dulu sebagai persyaratan lulus? Dan di markas besarnya, mengapa ada dosen yang dibiarkan eksis tanpa menulis karya ilmiah padahal ada prinsip publish or perish?

Kualitas rendah adalah ciri pokok apa saja yang disebut ecek-ecek. Saking rendahnya kualitas sarjana di atas tadi, bisa dikatakan hampir tak ada lagi bedanya dengan sarjana ecek-ecek. Dan ini tentu mengundang dugaan nakal lainnya. Jangan-jangan sejak awal memang ecek-ecek belaka. Ada Ebtanas ecek-ecek, NEM ecek-ecek, UMPTN ecek-ecek, kurikulum ecek-ecek, kuliah ecek-ecek, universitas ecek-ecek, dosen ecek-ecek, dan sarjana ecek-ecek.

***

Pada arah sebaliknya, kita harus mempromosikan kembali betapa pentingnya orang biasa, betapa terhormatnya orang bersahaja, betapa mulianya hidup apa adanya. Khususnya, kita perlu mengharg ai orang biasa tetapi mampu berkarya luar biasa. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Rendra, adalah contoh insan tidak bergelar, tetapi kualitas karya mereka melebihi karya sarjana, bahkan sudah mencapai tahap empu (maestro) di bidang masing-masing.

Tampil bersahaja namun berkualitas bertambah penting lagi karena masyarakat kita sangat suka pada gincu. Dan gincu bangsa kita sudah terlalu tebal. Alhasil, jadi norak. Buktinya, sekian banyak doktor ekonomi kita tapi ekonomi bangsa ini sangat payah. Sekian banyak sarjana hukum kita tapi nasib dewi keadilan terpuruk di negeri ini. Sekian banyak doktor politik kita tapi kondisi politik republik ini amburadul. Sekian banyak inspektur, komisaris, dan jenderal kita tapi keamanan nusantara rawan di mana-mana. Jadi bukankah kita layak menduga bahwa di balik gelar-gelar mentereng itu sebenarnya tidak ada apa-apa? Kosong tanpa kualitas? Ecek-ecek? Gincu doang?

Kita bukan anti gincu. Tapi marilah mengakui bahwa itu memang gincu. Yang kita tolak adalah klaim bahwa gincu itu rona asli wajah kita. Jadi, marilah memulai kebersahajaan: Jangan lagi pakai gelar-gelar akademis itu. Bukan karena tidak boleh, tetapi dengan tampil bersahaja kita selalu diingatkan bahwa kita belum apa-apa. Kita disadarkan, yang penting itu kualitas ilmunya, bukan gelarnya.

Saya mempunyai buku yang mengoleksi sejumlah surat Einstein dengan ilmuwan sezamannya. Saya takjub, tak sekalipun saya temui tertulis Prof. Dr. Albert Einstein. Cukup ditulis A. Einstein atau Albert Einstein saja. Sangat bersahaja, sangat biasa. Tapi kita belum lupa, Einstein sudah dinobatkan sebagai Man of The Century oleh majalah Time di penghujung tahun 2000 lalu. Artinya, dialah individu yang karena kedalaman ilmunya diakui sebagai penyumbang terbesar terhadap peradaban manusia sepanjang abad ke-20. Jadi, jika kita tidak lagi malu pada diri sendiri, tidak malu lagi pada masyarakat, tidak malukah kita kepada Einstein?

Kini Indonesia terpuruk dengan utang ratusan milyar dolar. Sebab fundamentalnya, menurut saya, ialah karena kita tidak bersedia hidup bersahaja apa adanya. Sebaliknya kita kepingin keren dan hebat, punya ini punya itu, kelihatan begini kelihatan begitu. Lalu kita membeli gincu mahal-mahal dengan utang kiri kanan. Maka pasak pun semakin besar sementara tiang semakin kecil.

Maka sekali lagi, marilah sederhana dan bersahaja: Gelar No, Ilmu Yes!

7 Mentalitas Profesional

7 Mentalitas Profesional

Filed Under: Umum

Oleh: Jansen H. Sinamo

Kini adalah zaman profesional. Abad 21 dicirikan oleh globalisasi yang serba kompetitif dengan perubahan yang terus menggesa. Tidak terbayangkan lagi ada organisasi yang bisa bertahan tanpa profesionalisme. Bukan sekadar profesionalisme biasa tetapi profesionalisme kelas tinggi, world-class professionalism, yang memampukan kita sejajar dan bermitra dengan orang-orang dan organisasi-organisasi terbaik dari seluruh dunia.

Kaum profesional dari pelbagai disiplin kerja sekarang sudah merambah ke seluruh dunia. Bagi mereka batas-batas negara tidak lagi relevan. Wawasan mereka sudah kosmopolitan. Mereka adalah warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di mana saja di muka Bumi. Mereka bisa bekerja di mana saja di planet ini.

Bangsa kita jelas memerlukan sekelompok besar kaum profesional untuk mengisi pembangunan masyarakat di segala bidang. Jika tidak mampu, maka kita terpaksa harus mengimpor mereka dengan harga yang sangat mahal.

Sesungguhnya, Indonesia berpotensi pula mengekspor tenaga-tenaga kerja profesional dalam pelbagai kelas ke mancanegara: perminyakan, pertambangan, kehutanan, sastra, seni, dan lain-lain.

Untuk dua hal di atas diperlukan usaha besar: membangun mentalitas profesional.

1. Mentalitas Mutu
Seorang profesional menampilkan kinerja terbaik yang mungkin. Dengan sengaja dia tidak akan menampilkan the second best (kurang dari terbaik) karena tahu tindakan itu sesungguhnya adalah bunuh diri profesi. Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu berada di ujung terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu kesempurnaan nyata, menembus batas-batas ketidakmungkinan praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu: kekuatan, keindahan, keadilan, kebaikan, kebergunaan.

Jelas, profesionalisme tidak identik dengan pendidikan tinggi. Yang utama adalah sikap dasar atau mentalitas. Maka seorang pengukir batu di pelosok Bali misalnya, meskipun tidak lulus SMP, namun sanggup mengukir dengan segenap hati sampai dihasilkan suatu karya ukir terhalus dan terbaik, sebenarnya adalah seorang profesional. Seorang guru SD di udik Papua yang mengajar dengan segenap dedikasi demi kecerdasan murid-muridnya adalah seorang profesional.

Di fihak lain, seorang dokter yang menangani pasiennya dengan tergesa-gesa karena mengejar kuota pasien bukanlah profesional. Demikian pula seorang profesor yang mengajar asal-asalan, meneliti asal jadi, membina mahasiswa terlalu banyak sampai mengorbankan kualitas, bukanlah profesional. Atau, seorang insinyur yang dengan sengaja mengurangi takaran bahan bangunannya demi laba yang lebih besar bukanlah profesional.

Jadi mentalitas pertama seorang profesional adalah standar kerjanya yang tinggi yang diorientasikan pada ideal kesempurnaan mutu.

2. Mentalitas Altruistik
Seorang profesional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini melengkapi pengertian baik dalam mentalitas pertama, yaitu mutu. Baik dalam mentalitas kedua ini berarti goodness yang dipersembahkan bagi kemaslahatan masyarakat. Profesi seperti guru, dokter, atau advokat memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Demikian pula pialang saham, computer programmer, atau konsultan investasi. Taat asas dengan pengertian ini, tidak mungkin ada pencuri profesional atau pembunuh profesional. Mungkin saja teknik mencurinya atau metoda membunuhnya memang canggih dan hebat, tetapi menggelari mereka sebagai kaum profesional adalah sebuah kerancuan istilah.

Mutu kerja seorang profesional tinggi secara teknis, tetapi nilai kerja itu sendiri diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban. Inilah altruisme.

Di fihak lain, paradoksnya, karena kualitas kerjanya tinggi, berbasiskan kompetensi teknis yang tinggi, maka masyarakat menghargai jasa kaum profesional ini dengan tinggi pula. Artinya, imbalan kerja bagi kaum profesional umumnya selalu mahal. Permintaan atas jasa mereka selalu lebih tinggi dari ketersediaannya. Itulah yang mengakibatkan imbalan kerja kaum profesional menjadi tinggi. Oleh karena itu pula, status sosial kaum profesional dari segi moneter umumnya berada di lapisan tengah ke atas. Ini bukan karena kaum profesional menuntut untuk didudukkan di kelas tersebut, tetapi sebagai akibat logis dari eksistensi profesionalnya.

Maka ciri kedua profesionalisme ialah hadirnya motif altruistik dalam sikap dan falsafah kerjanya.

3. Mentalitas Melayani
Kaum profesional tidak bekerja untuk kepuasan diri sendiri saja tanpa peduli pada sekitarnya. Kaum profesional tidak melakukan onani profesi. Sebaliknya, kepuasannya muncul karena konstituen, pelanggan, atau pemakai jasa profesionalnya telah terpuaskan lebih dahulu via interaksi kerja.

Kaum profesional lahir karena kebutuhan masyarakat pelanggan. Sorang maestro seni lukis sekelas Michelangelo saja pun tetap punya pelanggan, yakni Sri Paus, sang penguasa Vatikan, yang keinginannya harus dipuaskan.

Seorang profesional bahkan dengan tegas mematok nilai moneter atas jasa profesionalnya. Dengan ketegasan ini berarti sang profesional berani berdiri di mahkamah tawar-menawar rasional dengan para pelanggannya. Maka seorang profesional harus bisa melayani pelanggannya sebaik-baiknya. Dan sang profesional diharapkan melakukannya secara konsisten dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati sebagai apreasiasi atas kesetiaan pelanggannya di sepanjang karir profesionalnya.

Maka ciri ketiga seorang pekerja profesional adalah sikap melayani secara tulus dan rendah hati kepada pelanggannya dan nilai-nilai utama profesinya.

4. Mentalitas Pembelajar
Di bidang olahraga, seorang pemain profesional, sebelum terjun penuh waktu, terlebih dahulu menerima pendidikan dan pelatihan yang mendalam. Dan di sepanjang karirnya ia terus-menerus mengenyam latihan-latihan tiada henti.

Begitu juga di bidang lain, seorang pekerja profesional adalah dia yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus di bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi yang sudah mapan, sebelum seseorang diberi hak menyandang status profesional, dia harus menempuh serangkaian ujian. Bila lulus barulah dia mendapatkan sertifikasi profesional dari asosiasi profesinya.

Kompetensi tinggi tidak mungkin dicapai tanpa disiplin belajar yang tinggi dan berkesinambungan. Dan karena tuntutan masyarakat semakin lama semakin tinggi, tak pelak lagi, belajar dan berlatih seumur hidup harus menjadi budaya kaum profesional. Tanpa itu maka sajian nilai sang pekerja profesional semakin lama semakin tidak relevan. Bahkan bisa tak bersentuhan dengan realitas sekitarnya. Pada saat itulah seorang pekerja gagal menjadi profesional.

Jadi ciri keempat pekerja profesional adalah hati pembelajar yang menjadikannya terus bertumbuh dan mempertajam kompetensinya kerjanya.

5. Mentalitas Pengabdian
Seorang pekerja profesional memilih dengan sadar satu bidang kerja yang akan ditekuninya sebagai profesi. Pilihannya ini biasanya terkait erat dengan ketertarikannya pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa keterpanggilan untuk mengabdi di bidang tersebut. Mula-mula, pilihan itu dipengaruhi oleh bakat dan kemampuannya yang digunakannya sebagai kalkulasi peluang suksesnya di sana. Tetapi kemudian berkembang sebuah hubungan cinta antara sang pekerja dengan pekerjaannya.

Hubungan ini mirip dengan hubungan jejaka-gadis yang jatuh cinta. Semakin mereka mengenal, rasa cinta makin kental, dan akhirnya mengokohkan hubungan itu secara marital. Demikian juga seorang profesional, semakin ia menekuni profesinya semakin timbul rasa cinta. Dan bila hatinya sudah mantap betul maka ia memutuskan untuk hanya menekuni bidang itu sampai tuntas dan menyatu padu dalam sebuah ikatan cinta yang kekal. Demikianlah, seorang profesional mengabdi sepenuh cinta pada profesi yang dipilihnya.

Jadi ciri kelima seorang profesional sejati adalah terjalinnya dedikasi penuh cinta dengan bidang profesi yang dipilihnya.

6. Mentalitas Kreatif
Seorang olahragawan profesional menguasai sepenuhnya seni bermain. Baginya permainan tidak melulu soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari seorang jago menjadi seorang maestro seperti Rudy Hartono di bulutangkis, Pele di sepakbola, atau Muhammad Ali di tinju. Sedangkan pemain amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal menguasai teknik-teknik dasar maka memadailah untuk ikut pertandingan-pertandingan.

Seorang pekerja profesional, sesudah menguasai kompetensi teknis di bidangnya, berkembang terus ke tahap seni. Dia akan menemukan unsur seni dalam pekerjaannya. Dia akan menghayati estetika dalam profesinya. Mata hatinya terbuka lebar melihat kekayaan dan keindahan profesi yang ditekuninya. Seterusnya, perspektif, keindahan, dan kekayaan ini akan memicu kegairahan baru bagi sang profesional yang pada gilirannya memampukannya menjadi pekerja kreatif, berdaya cipta, dan inovatif.

Jadi ciri keenam seorang pekerja profesional adalah kreativitas kerja yang lahir dari penghayatannya yang artistik atas bidang profesinya.

7. Mentalitas Etis
Seorang pekerja profesional, sesudah memilih untuk “menikah” dengan profesinya, menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Profesi apa pun pasti terlibat menggeluti wacana moral yang relevan dengan profesi itu. Misalnya profesi hukum menggeluti moralitas di seputar keadilan, profesi kedokteran menggeluti moralitas kehidupan, profesi bisnis menggeluti moralitas keuntungan, begitu seterusnya dengan profesi lain.

Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati etika dan moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan misalnya. Penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum profesional.

Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji orang, dia juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan, tetapi mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat yang diabdinya dengan tulus.

Jadi ciri keenam pekerja profesional adalah kesetiaan pada kode etik profesi pilihannya.

***

Tampaklah bahwa menjadi profesional sangat berat. Tanpa motivasi akbar, dan stamina moral yang tinggi seseorang tidak mungkin menjadi profesional sejati.
Pertanyaan penting disini: darimana kah seorang profesional mendapatkan motivasinya sehingga ia dapat bertahan bahkan bertumbuh di arena profesional itu? Pasti tidak dari sekadar uang saja meskipun dunia profesional berlimpah dengan uang. Lagipula sudah diketahui bahwa motivasi uang selalu berbentuk kurva lonceng, maksudnya uang memang memotivasi orang, tetapi sesudah uang diperoleh, tingkat motivasinya akan turun kembali; mendaki ke puncak kurva lalu menurun menuju dasar kurva.

Motivasi seorang profesional selalu berasal dari ruang spiritual. Dari ruang ini dapat didulang berbagai jenis motivasi luhur seperti demi negara, demi bangsa, demi kaum papa, demi perdamaian, demi demokrasi, demi kemanusiaan, demi peradaban, dan sebagainya.

Dalam Abad 21 kini, dimana kompetisi antarmanusia, antarorganisasi, antarperusahaan, dan antarbangsa telah menjadi norma, maka profesionalisme di segala bidang menjadi tiket masuk ke stadion peradaban. Tanpa profesionalisme maka kita cuma jadi penonton. Dan sebagai penonton, kita harus selalu membayar. Juga, tidak ada calo yang menjual karcis catutan. Artinya setiap orang harus menjadi profesional. Setiap perusahaan, partai politik, atau organisasi apa pun harus menjadi profesional. Bahkan setiap negara akhirnya harus berkelakuan profesional terhadap konstituen utamanya: rakyat! Jika tidak, masyarakat akan berkata pada kita: go to hell with your filthyness.

Sumber :http://www.institutmahardika.com/artikel/artiment.php

Senin, 22 Februari 2010

Mengaktifkan FK pada Xamps


Xampp LogoXAMPP yang dibuat oleh ApacheFriends merupakan suatu software ketiga (thirdty-party-software) yang mempermudah proses instalasi PHP, Apache,MySQL dan Perl. Sekali melakukan instalasi, secara otomatis kita akan memiliki keempat software tersebut. Kita juga tidak perlu repot-repot melakukan konfigurasi apapun. Cukup memudahkan bagi kita yang ingin belajar pemrograman web.

Disamping kemudahan tersebut, berhubungan dengan MySQL, beberapa fitur secara default belum aktif (disable). Termasuk diantaranya fitur tipe tabel InnoDB, dimana tipe tabel ini memungkinkan kita untuk membuat tabel yang mendukung transaksi, seperti foreign-key, commit and roleback dsb.

Jika kita ingin mengaktifkan fitur InnoDB pada Instalasi XAMPP, berikut ini langkah yang dapat Anda ikuti:

Langkah 1. Stop service MySQL melalui XAMPP Control Panel. Lihat gambar di bawah ini

Langkah 2. Buka file konfigurasi MySQL “my.cnf” yang berada di folder letak-instalasi-xampp\xampp\mysql\bin dengan menggunakan notepad.

Langkah 3. Cari bagian konfigurasi sbb:

#Comment the following line to unskip and use InnoDB
skip-innodb

#Uncomment the following options for InnoDB database if you are using InnoDB tables.
#innodb_data_home_dir = C:/xampp/xampp/mysql/data/
#innodb_data_file_path = ibdata1:10M:autoextend
#innodb_log_group_home_dir = C:/xampp/xampp/mysql/data/
#innodb_log_arch_dir = C:/xampp/xampp/mysql/data/

#Uncomment the lines and set innodb_buffer_pool_size up to 50% – 80% of RAM for optimization of InnoDB databases, try not to memory usage too high.
#set-variable = innodb_buffer_pool_size=16M
#set-variable = innodb_additional_mem_pool_size=2M

#Uncomment the lines and set innodb_log_file_size to 25% of InnoDB buffer pool size for optimisation.
#set-variable = innodb_log_file_size=5M
#set-variable = innodb_log_buffer_size=8M
#innodb_flush_log_at_trx_commit=1
#set-variable = innodb_lock_wait_timeout=50

Langkah 4. Ubahlah menjadi sebagai berikut:

# skip-innodb

innodb_data_home_dir = C:/xampp/xampp/mysql/data/
innodb_data_file_path = ibdata1:10M:autoextend
innodb_log_group_home_dir = C:/xampp/xampp/mysql/data/
innodb_log_arch_dir = C:/xampp/xampp/mysql/data/

set-variable = innodb_buffer_pool_size=16M
set-variable = innodb_additional_mem_pool_size=2M

set-variable = innodb_log_file_size=5M
set-variable = innodb_log_buffer_size=8M
innodb_flush_log_at_trx_commit=1
set-variable = innodb_lock_wait_timeout=50

Langkah 5. Start kembali MySQL melalui XAMPP Control Panel

Minggu, 21 Februari 2010

5 Langkah Menjadi Programmer Entrepreneur

5 Langkah Menjadi Programmer Entrepreneur

by Romi Satria Wahono

programmerlegendHari Kamis, 19 Pebruari 2009, saya diminta mengisi satu sesi tentang entrepreneurship di PHP Developers Day 2009yang diadakan di PDII LIPI Jl Gatot Subroto 10, Jakarta. Supaya unik, presentasi saya beri judul Programmer Entrepreneur. Inti dari presentasi saya adalah uraian tentang kiat dan langkah menjadi programmer yang berkarakter entrepreneur. Wacana ini perlu saya berikan karena saya pikir trend programmer di Indonesia, relatif lebih memilih bekerja di sebuah perusahaan yang established, daripada menempuh jalur wirausaha. Saya berharap para programmer berkarakter kuli, mulai pelan-pelan berubah menjadi programmer yang berjiwa entrepreneur dan memiliki kemampuan bisnis yang memadai. Materi saya kembangkan dan sesuaikan dengan judul posting ini, yaitu 5 Langkah Menjadi Programmer Entrepreneur. Tertarik? Klik dan lanjutkan bacanya :)

1. FIGHT FOR CODELINE FREEDOM!

Programming adalah kemampuan dasar yang wajib dimiliki oleh seorang programmerdan mahasiswa computing. Dalam IEEE Computing 2005, kemampuan coding dan mengembangkan software menjadi titik sentral, yang disentuh semua jurusan computing, baik itu Computer Science (CS), Software Engineering (SE), Information System (IS), Information Technology (IT) ataupun Computer Engineering (CE). Mahasiswa computing tanpa bisa coding, bagaikan garam tanpa asinnya :)Perdjoeangan untuk mencapai kebebasan baris kode, membawa arti bahwa kita tidak stress melihat 1000 baris kode suatu program. Dan juga, tidak boleh masuk rumah sakit kena tipus, kalau harus melototin 10000 baris kode :) Pertanyaan yang sangat sering datang ke saya dari mahasiswa jurusan computing adalah, bagaimana supaya bisa mahir coding? Jawaban saya, kiatnya cuma ada 5, yaitu: latihan, latihan, latihan, latihan dan latihan :D

Yakinlah bahwa bangku kuliah tidak cukup. Dan janganlah pernah mengeluh wahai para mahasiswa, karena tidak hanya di Indonesia, mahasiswa di luar negeripun tetap tidak akan bisa mahir coding, kalau hanya mengandalkan jam mata kuliah pemrograman. Saya juga dulu harus keluar masuk berbagai software house di Jepang dan bahkan sempat 6 tahun part time di perusahaan game Activision, supaya bisa menebarkan dan menyematkan berbagai teori dan konsep pemrograman ke ujung-ujung jari, kulit dan otak saya.

2. BROWSING FOR LEARNING AND RESEARCHING

Lakukan shift-paradigm pada perilaku kita. Tancapkan ke dalam benak kita yang paling dalam, bahwa kegiatan web browsing bukan hanya ajang klik URL asal-asalan, kegiatan selingan, iseng atau aktifitas di kala senggang. Mengakses Internet adalah sebuah investasi. Detik demi detik waktu yang kita pakai untuk nginternet, akan dikonversi dalam bentuk rupiah pada saat kita keluar warnet atau menutup koneksi internet kita. Manfaatkan kegiatan browsing untuk banyak belajar dan meneliti. Ketika mengunjungi Alexa.Com, jangan hanya terperangah dengan posisi rangking kaskus.us, friendster.com, facebook.com atau detik.com, tapi usahakan untuk sambil mengumpulkan data kunjungan Internet Indonesia. Rangkumkan datanya dalam bentuk tabel, kategorisasikan, olah dan analisa dengan berbagai teknik statistik. Manfaatkan berbagai forum yang betebaran di dunia maya untuk belajar, bagaimana mengembangkan software dan game yang bisa kita jual, ataupun berbisnis di Internet. Ketika kita menggunakan aplikasi facebook dan friendster, arahkan strum otak kita untuk memikirkan genre aplikasi dan game apa yang saat ini nge-trend di facebook atau friendster. Pelajari kelebihan dan kelemahannya.

3. CREATE A “KREATIFITAS MAYA”!

Gunakan berbagai data dan hasil analisa yang kita dapatkan pada saat browsing untuk mulai sedikit demi sedikit membangun kreatifitas maya. Ingatlah bahwa produk-produk legendaris tidak langsung menjadi besar, perlu proses yang lama. Matt Mullenweg sang founder Wordpress, juga mengawali jalan legendanya dengan sesuatu yang sangat dasar, karena ingin belajar PHP. Jerry Yang, akhirnya menseriusi bisnis mesin pencarinya, mesekipun diawali dengan aktifitas mengumpulkan link URL. Demikian juga dengan Blake Ross dengan Mozilla Firefoxnya, Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya, Steve Chen dan Chad Hurley dengan Youtube-nya, Pierre Omidyar dengan eBay-nya, dan Tom Anderson dengan MySpace-nya. Kemampuan coding akan mempercepat proses implementasi ide, yang kita rumuskan dari hasil analisa dan penelitian kita tentang trend layanan web. Saya membangunIlmuKomputer.Com juga sebenarnya tidak asal bangun, tapi mulai dari learning dan researching tentang layanan untuk mahasiswa yang benar-benar bisa menjadi solusi bagi mahasiswa. Saya mulai dari survey ke ratusan mailing list dan forum. Termasuk mencari data yang valid, siapa sebenarnya pengguna Internet yang populasinya besar saat itu.

4. BLOGGING FOR PERSONAL BRANDING

Kreatifitas maya yang dahsyat dan menggunakan teknologi canggih, tidak ada artinya apabila tidak diperkenalkan ke publik. Karena itu kita perlu latih kemampuan menulis kita, yang bisa kita mulai dengan menggunakan blog. Para programmer yang notabene adalah seorang spesialis, dituntut kedepannya berkemampuan versatilist, yang bisa menawarkan diri dan menjual kemampuannya dengan baik. Ngeblog alias blogging sekaligus jadi cara yang maknyus untuk personal branding lewat dunia maya. Saat ini personal branding lewat blogging adalah jalan yang sangat cepat dan efektif, bahkan melebihi personal branding lewat koran dan media cetak. Pengguna Internet Indonesia yang mencapai 25 juta, mungkin hanya kalah oleh TV. Dan saya yakin, tidak semua dari kita punya kelebihan uang untuk melakukan aktifitas narsistik lewat 30 detik iklan di TV yang mencapai nilai ratusan juta rupiah. Sekali lagi, personal branding lewat blogging adalah jalan yang lebih efektif, efisien, nyata alias tidak ngoyoworo bin aya aya wae :) . Sayapun menempuh jalan ini untuk memperkenalkan diri, IlmuKomputer.Com dan juga bisnis yang saya buat sepertiBrainmatics.Com.

5. BE AN ENTREPRENEUR!

Ketika kondisi sudah mapan, dan sudah mulai banyak yang menghubungi kita untuk kerjasama mengembangkan berbagai proyek dan kegiatan. Mulai pikirkan untuk masuk jalur entrepreneur formal lewat bisnis dalam bentuk yang lebih nyata. Dirikan PT atau CV, sewa kantor, ajak anak-anak muda yang cerdas nan militan untuk bergabung dengan kita. Jangan lupa didik mereka dengan baik dan bijak. Beri mereka kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengembangkan ilmu. Beri beasiswa untuk melanjutkan sekolah apabila dirasa memang sang pegawai berprestasi. Beri mereka kepercayaan, mulai delegasikan wewenang dan tugas, dan jangan pernah beranggapan bahwa semua harus kita kerjakan sendiri.

Saya juga dibantu para pedjoeang-pedjoeang muda dalam melakukan aktifitas di dunia maya dan bisnis. Menarik kalau kapan-kapan coba mampir ke markas IlmuKomputer.com, yang sekaligus sebagai kantor Brainmatics.Com di Menara Bidakara. Ada Mansyur, Training Manager kita yang gesit dan jaim. Mansyur alias Acun ini sebenarnya baru berumur 20 tahun dan duduk di semester 3 bangku kuliah S1. Tapi menakjubkan, karena miliaran omzet perusahaan dihasilkan dari tangan dinginnya. Ada mulyana, sang Technical Manager yang cerdas tapi dingin, plus cenderung psikopat. Saat ini baru berumur 19 tahun, bahkan belum lulus SMA dan harus ujian bulan April ini. Ada lagi Eman, sang Financial Manager kita, pemilik IPK 3.8 yang selalu tampil keren dan harum meskipun sedikit agak jablai ini, juga baru berumur 20 tahun. Adalagi Tanto, yang jadi PJ project eLearning kita di Merpati Airlines, laki-laki setia yang jago makan ini juga belum menikah :)

Sapalah para pedjoeangku ini, dan ajaklah mereka berdiskusi. Aku yakin tidak ada yang bisa mengalahkan laskar pelangiku ini dalam kuantitas dan kualitas kerja. Mereka bangun sebelum orang lain bangun, dan tidur setelah orang lain tidur. Dancintapun tak akan bisa membunuh mereka, paling cuman bikin diem ajah 3 hari 3 malam hihihi. Mereka sangat paham bahwa mendapatkan pendidikan adalah sebuah perdjoeangan, dan hidup dari keringat sendiri adalah suatu kebanggaan. Para pedjoeangku ini masih terlalu muda dan mungkin miskin ilmu, karena itu ajarilah mereka ilmu pengetahuan. Tapi belajarlah dari mereka hakekat perdjoeangan dan mintalah sebuah peta harta harun kepada mereka … yaitu peta jalan cinta para legenda.

Wahai para pemuda, janganlah pernah mau jadi pecundang, berebutlah untuk menjadi legenda. Kuingin kau tahu, jalan legenda terbuka lebar, bagi siapa saja yang mau berusaha dan berdjoeang. Dan tidak semua orang yang punya kemampuan bisa menjadi legenda, karena menjadi legenda adalah sebuah pilihan, bukan karena kemampuan.

Sambutlah pagi hari dengan riang dan tataplah mentari pagi dengan lantang. Jangan lupa ucapkan, “I am legend!” … believe me you will be legend :)